Last Updated on 28 August 2024 by Adha Susanto
Estimated reading time: 1 minute
Dalam satu kali melaut nelayan tradisional tidak selalu mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah. Karena nelayan tradisional tidak bisa melaut jauh menggunakan perahu kecilnya saat cuaca alam yang juga tidak menentu. Lalu bagaimana ciri khas kehidupan nelayan tradisional di Indonesia? Simak selengkapnya di bawah ini ya.
Nelayan tradisional menurut Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 merupakan nelayan kecil yang memiliki kapal atau perahu dengan ukuran paling besar 5 grosstonase (GT).
Setiap perahu nelayan terlengkapi dengan alat tangkap berkonstruksi sederhana seperti jaring insang, pancing, bubu, atau mini trawl.
Ikan target nelayan tradisional umumnya adalah ikan kelompok pelagis kecil dan demersal, undang, rajungan, hingga cumi.
Hasil tangkapan nelayan tradisional pun tidak menentu, karena sangat bergantung pada cuaca dan ketersediaan ikan di wilayah operasi.
Mungkin saja pada saat nelayan bisa menempuh melaut lebih jauh dari pesisir pantai hasil tangkapan nelayan tradisional bisa memuaskan.
Tetapi pada umumnya nelayan tradisional tidak bisa melaut dengan jarak jauh seperti nelayan modern. Karena keterbatasan ukuran perahu nelayan tradisional yang tidak bisa beroperasi di perairan dengan gelombang tinggi yang mengancam keselamatan.
Baca Juga: 10 Alat Tangkap Ikan Jaring Nelayan
Daftar Isi
Perahu nelayan tradisional
Ciri perahu nelayan tradisional di sepanjang pesisir Indonesia umumnya terdominasi oleh perahu kayu dengan bobot 3 GT.
Jarak tempuh untuk melaut rata-rata 4–7 mil. Lebih dari itu perahu akan sulit menembus lautan dengan aman, karena hantaman gelombang lebih tinggi.
Pada umumnya masa operasi perahu kayu sebagai aramada untuk menangkap ikan oleh nelayan mencapai 8–12 tahun jika terawat dengan baik.
Untuk mencapai usia tersebut perahu harus mendapatkan perawatan intensif, karena kini keberadaan kayu berkualitas sudah semakin sulit dan mahal.
Di Provinsi Riau untuk membuat satu unit perahu kayu nelayan tradisional dengan bobot 3 GT hingga siap beroperasi terpatok harga Rp. 32.5 juta. Sedangkan unit perahu tanpa mesin sekitar Rp. 20 juta dengan harga satu unit mesin berkisar Rp. 4 juta.
Biaya perawatan perahu kayu menjadi beban setiap bulan oleh nelayan sebesar Rp. 3 juta dan biaya lainnya mencapai Rp. 15 juta/bulan.
Pengeluaran nelayan tradisional untuk perawatan perahu sudah termasuk pengecatan dan penambalan bagian-bagian yang bocor.
Pengecatan perahu menggunakan cat antifouling untuk melindungi perahu dari hewan laut yang merusak. Harga untuk satu kaleng cat antifouling berkisar Rp1 juta yang didatangkan dari Malaysia.
Sosial budaya nelayan tradisional
Nelayan tradisional Indonesia sangat lekat dengan ciri kehidupan yang serba terbatas secara ekonomi, pekerjaan, dan pendidikan.
Satu-satunya usaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga bergantung pada hasil laut yang pendapatannya tidak menentu. Karena dalam satu kali melaut nelayan tradisional mendapatkan hasil tangkapan yang tidak seimbang dengan biaya operasional yang harus dikeluarkan.
Peristiwa ini terjadi sebagai dampak sapuan wilayah tangkap alat tangkap modern dan efektif oleh nelayan modern. Contoh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia yang kini telah mengalami overfishing dan tekanan lingkungan adalah laut Jawa.
Laut Jawa yang menjadi wilayah penangkapan ikan demersal dan pelagis kecil sebagai komoditi tangkapan nelayan tradisional kian menipis.
Nelayan tradisional banyak mengeluhkan hal ini, karena ketergantungan terhadap hasil laut masih menjadi andalan.
Meminjam modal kepada nelayan besar atau keluarga yang berkenan untuk melaut atau menutupi kebutuhan keluarga telah menjadi hal yang lumrah. Uang akan dikembalikan ketika nelayan tradisional mendapatkan hasil tangkapan lebih banyak.
Pendidikan
Rendahnya penghasilan dari melaut mengorbankan pendidikan anak sebagai generasi penerusnya. Anak-anak nelayan sulit untuk dapat menikmati fasilitas pendidikan karena keterbatasan ekonomi keluarga sejak dahulu.
Kemudian, hal ini diperparah dengan ciri kehidupan nelayan tradisional yang belum terbuka terhadap masalah pendidikan.
Menurut mereka pendidikan bukan kebutuhan penting disaat beban ekonomi keluarga terus meningkat. Anak-anak bisa bekerja membantu kebutuhan keluarga dengan pergi melaut untuk mencari ikan adalah keputusan yang tepat.
Selain itu memiliki pendidikan tinggi tidak penting di kehidupan sebagai nelayan, karena bekerja di laut sebagai nelayan hanya membutuhkan otot dan pengalaman. Pemikiran seorang yang berpendidikan tidak berpengaruh terhadap kemampuan mereka menggunakan perahu sebagai armada untuk menangkap ikan.
Pola pemikiran ini kemudian terbawa ke dalam kehidupan semakin sulit dengan kebiasaan yang kurang menyenangkan.
Tetapi hal ini tidak dapat tergenalisirkan terhadap ciri kehidupan nelayan tradisional di seluruh Indonesia. Sebab terdapat juga nelayan tradisional yang memiliki kesadaran tentang pentingnya pendidikan untuk kesejahteraan keluarga.
Baca Juga: 6 Alat Tangkap Bukan Dari Jenis Jaring
Sifat konsumerisme
Kehidupan keluarga nelayan tradisional juga tergambarkan dari ciri hidup yang tidak memperhitungkan kebutuhan terhadap masa depan.
Ketika mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah kebiasaan berbelanja barang yang tidak dibutuhkan pun menguasai.
Hasil melaut akan habis pada saat itu pula untuk membeli berbagai perhiasan, pakaian, dan sebagainya. Untuk itu peristiwa sosial budaya ini pun umum menjadi hal yang lumrah pada keluarga nelayan tradisional yang berjiwa konsumerisme.
Jangankan untuk merawat perahu dan membayar uang pinjaman operasional untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan yang lebih optimal. Nelayan tradisional semakin terjebak dalam lingkaran kehidupan sosial yang kurang menyenangkan.
Kehidupan yang bergantung dengan keramahan alam tidaklah menentu. Kemampuan untuk mencari pekerjaan alternatif pada sektor nonkenelayanan masih minim.
Dan paling umum pekerjaan sampingan ketika tidak musim melaut adalah ikut mejadi buruh tukang bangunan. Dengan upah yang sangat bergantung pada beban dan kebaikan rekan kerja.
Program pemerintah
Upaya pemerintah untuk membantu nelayan agar bisa keluar dari jeratan kemiskinan dan hidup sejahtera terus dilakukan.
Program pengentasan kemiskinan nelayan yang sudah berlangsung sejak tahun 1974 berkonsentrasi dalam bidang perkreditan nelayan. Seperti Kredit Investasi kecil (KIK), Kredit Modal kerja permanen (KMKP), dan kredit Bimas.
Meskipun paket bantuan kredit atau program bantuan lain bisa berjalan dalam waktu yang tidak lama. Bahkan tidak sedikit program pemerintah mengalami kemacetan di tengah jalan, karena hambatan pengembalian dana dari nelayan.
Sehingga pemerintah harus mengkaji ulang kebijakannya untuk membantu nelayan tradisional yang lekat dengan ciri kehidupan serba terbatas. Terbatas dalam akses pendidikan dan harga jual ikan.
Baca Juga: Ciri Nelayan Modern: Peralatan dan Kehidupan