Last Updated on 5 June 2024 by Adha Susanto
Estimated reading time: 5 minutes
Tidak menggunakan bahan peledak (bom) dan pukat harimau merupakan cara menangkap ikan tanpa merusak lingkungan dan terumbu karang laut. Lantas mengapa kedua jenis alat tangkap ikan tersebut kini sangat terlarang?
Pelarangan penggunaan kedua jenis alat tangkap tersebut selain berdampak buruk terhadap lingkungan. Juga berdampak secara ekonomi hingga memantik perselisihan atau konflik antara nelayan modern dan tradisional.
Seperti yang kita ketahui, nelayan Indonesia menangkap ikan di laut menggunakan alat tangkap tradisional dan modern.
Alat tangkap tradisional yang sering digunakan nelayan berupa: bubu, jaring, dan pancing. Sedangkan alat tangkap modern berupa: trawl (pukat harimau) dan jaring insang hanyut.
Kapal nelayan tradisional dan modern juga memiliki perbedaan berdasarkan ukuran.
Nelayan tradisional merupakan nelayan dengan perahu motor berukuran paling besar 5 grosstonase (GT). Untuk nelayan modern, umumnya menggunakan perahu motor berukuran lebih dari 10 GT.
Perbedaan alat tangkap (modern & tradisional) dan ukuran kapal menjadi faktor pembeda hasil tangkapan kedua nelayan.
Perbedaan hasil tangkap sebenarnya sudah terjadi sebelum gencarnya sosialisasi cara menangkap ikan tanpa merusak terumbu karang dan ekosistem laut.
Larangan penangkapan ikan menggunakan alat yang efektif, namun tidak selektif hingga kini masih menjadi polemik.
Kerusakan lingkungan mejadi isu terdepan selain terjadinya konflik antara nelayan modern, dan tradisional yang berbeda secara modal.
Daftar Isi
Menangkap tanpa merusak terumbu karang laut
Tidak menggunakan kedua alat di bawah ini merupakan cara penangkapan ikan yang ramah terhadap lingkungan laut.
Menangkap ikan dengan pukat harimau
Alat tangkap trawl atau pukat harimau telah beroperasi sejak tahun 1985 hingga sekarang. Penggunaan alat tangkap ini hanya terjumpai pada kapal nelayan modern berukuran lebih dari 10 GT.
Penangkapan ikan menggunakan pukat harimau umumnya berlangsung di lepas pantai dengan jarak lebih dari 10 mil.
Nelayan bisa berlayar hingga berhari-hari untuk mendapatkan ikan target bernilai ekonomi lebih tinggi jauh lebih banyak. Karena kapal mereka sangat ter-support oleh mesin pendingin untuk menjaga kualitas ikan tetap dalam kondisi baik ketika mendarat.
Cara menangkap ikan menggunakan pukat harimau, kemudian dilarang oleh pemerintah bukan tanpa alasan selain merusak lingkungan laut.
Kesenjangan hingga konflik antara nelayan tradisional dan modern sering terpantik saat salah satu pihak merasa dirugikan.
Nelayan tradisional dengan alat tangkap sederhana yang berlayar sekitar garis pantai mendapatkan hasil tangkapan lebih sedikit dari nelayan modern.
Sedangkan tuntutan kebutuhan ekonomi untuk menafkahi dan menyejahterakan keluarga terus meningkat.
Ketidakadilan semakin terasa oleh nelayan tradisional. Mereka merasa sangat di rugikan karena jumlah ikan kian menipis.
Menipisnya jumlah ikan diduga karena dampak dari penggunaan pukat harimau oleh nelayan-nelayan modern.
Pukat harimau merupakan alat tangkap berukuran sangat besar yang sangat efektif, namun tidak selektif. Karena pukat harimau menyapu bersih semua yang terlewatinya di dasar perairan.
Jadi, sangat tidak mungkin cara menangkap ikan menggunakan pukat harimau tanpa merusak ekosistem terumbu karang laut.
Hingga pada akhirnya terbitlah peraturan yang setidaknya dapat mengatur keseimbangan persaingan antara nelayan modern dan tradisional.
Serta menjadi upaya pemerintah untuk mengelola ekosistem laut berkelanjutan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Pasal 9.
Peraturan tersebut dengan tegas melarang penggunaan pukat harimau di wilayah penangkapan perikanan Indonesia.
Menangkap ikan dengan bom
Metode menangkap ikan selanjutnya yang tidak mungkin tanpa merusak lingkungan terumbu karang laut adalah penggunaan bom.
Penangkapan ikan menggunakan bom sudah lama dikenal oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia sejak perang dunia kedua.
Nelayan tradisional menilai mengebom menjadi cara mudah dan efektif untuk mendapatkan ikan terumbu karang bernilai ekonomi tinggi.
Hingga sekarang, metode menangkap ikan menggunakan bahan peledak sudah menjadi pengetahuan lokal yang turun-temurun.
Bom ikan pada umumnya terbuat dari potassium nitrate, batu kerikil, dan minyak tanah. Bahan-bahan tersebut kemudian terkemas dalam sebuah botol minuman suplemen, bir, dan minuman keras.
Satu botol minuman suplemen yang siap meledak itu memiliki berat yang mencapai dua kilogram.
Radius ledakan bom ikan seberat itu mencapai 50 meter dengan estimasi jumlah ikan yang diperoleh mencapai satu sampai lima kuintal. Dengan berbagai ukuran dan jenis yang layak dan tidak layak di jual.
Untuk menangkap ikan dalam jumlah yang banyak dengan cara dibom sangat tidak mungkin tanpa merusak lingkungan.
Pada umumnya, nelayan akan meledakkan bom sekitar terumbu karang yang terdapat gerombolan ikan.
Aktivitas penangkapan ikan menggunakan bahan peledak memiliki banyak dampak negatif seperti:
- Kehancuran terumbu karang
- Menyisakan lubang sedalam satu sampai dua meter
- Memusnahkan ikan kecil dan biota laut lainnya dan
- Menurunkan produktivitas perairan
- Merugikan perekonomian negara
Dampak negatif dari menangkap ikan dengan bom yang sangat besar kemudian tersikapi dengan menerbitkan sebuah peraturan.
Peraturan tersebut tertulis dalam Pasal 84 dan Pasal 85 Undang-undang No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Jika terdapat nelayan yang nekat menangkap ikan dengan bahan peledak (bom) di ekosistem laut. Maka akan mendapatkan sanksi berupa:
- Penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
- Denda paling banyak Rp1.200.000.000
Apakah menangkap ikan tanpa merusak bisa teraplikasikan?
Walau keberadaan ikan semakin sedikit, namun usaha untuk mendapatkan ikan sebanyak mungkin akan selalu ada.
Ini merupakan perilaku alami dari diri kita sendiri untuk selalu memaksimalkan hasil agar dapat mencukupi kebutuhan dan kesejahteraan rumah tangga.
Pelarangan penggunaan pukat harimau dan bahan peledak masih ada celah saat tumbuhnya kreatifitas selalu tumbuh.
Oleh karena itu, keputusan untuk menangkap ikan tanpa merusak ekosistem laut masih sangat minim.
Kecuali jika ada alat tangkap yang lebih mudah dan efektif untuk mendapatkan hasil dalam jumlah melimpah.